Empati berasal
dari bahasa Yunani εμπάθεια yang berarti “ketertarikan fisik”. Sehingga dapat
didefinisikan sebagai kemampuan seseorang untuk mengenali, mempersepsi, dan
merasakan perasaan orang lain.
Menurut KBBI,
empati adalah keadaan mental yang membuat seseorang mengidentifikasi atau
merasa dirinya dalam keadaan perasaan atau pikiran yang sama dengan orang atau
kelompok lain.
Sedangkan
Eileen R. dan Sylvina S (Kompas, 18 Nop.2006) menjelaskan bahwa empati adalah
kegiatan berpikir individu mengenai “rasa” yang dia hasilkan ketika berhubungan
dengan orang lain.
Menurut
Bullmer, empati adalah suatu proses ketika seseorang merasakan perasaan orang
lain dan menangkap arti perasaan itu, kemudian mengkomunikasikannya dengan
kepekaan sedemikian rupa hingga menunjukkan bahwa ia sungguh-sungguh mengerti
perasaan orang lain itu. Bullmer menganggap empati lebih merupakan pemahaman
terhadap orang lain ketimbang suatu diagnosis dan evaluasi terhadap orang lain.
Empati menekankan kebersamaan dengan orang lain lebih daripada sekadar hubungan
yang menempatkan orang lain sebagai obyek manipulatif.
Taylor
menyatakan bahwa empati merupakan faktor esensial untuk membangun hubungan yang
saling memercayai. Ia memandang empati sebagai usaha menyelam ke dalam perasaan
orang lain untuk merasakan dan menangkap makna perasaan itu. Empati memberikan
sumbangan guna terciptanya hubungan yang saling memercayai karena empati
mengkomunikasikan sikap penerimaan dan pengertian terhadap perasaan orang lain
secara tepat.
Sedangkan
Alfred Adler menyebut empati sebagai penerimaan terhadap perasaan orang lain
dan meletakkan diri kita pada tempat orang itu. Empathy berarti to feel in,
berdiri sebentar pada sepatu orang lain untuk merasakan betapa dalamnya
perasaan orang itu.
Senada dengan Adler, Tubesing memandang empati merupakan identifikasi sementara terhadap sebagian atau sekurang-kurangnya satu segi dari pengalaman orang lain. Berempati tidak melenyapkan kedirian kita. Perasaan kita sendiri takkan hilang ketika kita mengembangkan kemampuan untuk menerima pula perasaan orang lain yang juga tetap menjadi milik orang itu. Menerima diri orang lain pun tidak identik dengan menyetujui perilakunya. Meskipun demikian, empati menghindarkan tekanan, pengadilan, pemberian nasihat apalagi keputusan. Dalam berempati, kita berusaha mengerti bagaimana orang lain merasakan perasaan tertentu dan mendengarkan bukan sekadar perkataannya melainkan tentang hidup pribadinya: siapa dia dan bagaimana dia merasakan dirinya dan dunianya.
Menurut definisi Thomas F. Mader & Diane C. Mader (Understanding One Another: 1990), empati adalah kemampuan seseorang untuk share-feeling yang dilandasi kepedulian. Kepedulian ini ada tingkatan-tingkatannya
Resonansi
Perasaan
Empati sering
disebut-sebut sebagai resonansi dari perasaan. Secara fisika berarti ikut
bergetarnya suatu benda karena persamaan frekuensi. Dengan empati, seseorang
akan membuat frekuensi perasaan dalam dirinya sama dengan frekuensi perasaaan
yang dirasakan orang lain. Sehingga ia turut bergetar, turut memahami,
sekaligus merasakan apa yang dirasakan orang lain. Karena pikiran, kepercayaan,
dan keinginan seseorang berhubungan dengan perasaannya, seseorang yang
berempati akan mampu mengetahui pikiran dan mood orang lain.
Empati ini
sangat kita butuhkan. Empati ini akan membuat kita terbiasa melihat sesuatu
dari sisi yang lain. Empati akan membuat kita bisa cepat memisahkan orang dan
masalahnya; empati akan mendorong kita untuk lebih melihat bagaimana
menyelesaikan masalah ketimbang bagaimana menyerang orang.
Belajar
Berempati dari Tokoh Terdahulu
Seorang
pemimpin sangat dituntut profesionalitasnya dalam menjalankan tugasnya, sebagai
contoh pemimpin kharismatik India Mahatma Gandhi yang menjadi inspirasi gerakan
kemerdekaan di Asia pada era 40-50 an, misalnya, yang memilih berpakaian hanya
selembar kain gandum karena seperti itulah rakyat kebanyakan Atau juga tengok
Bapak Koperasi kita Bung Hatta yang menjadi sangat dikenang selain karena
intelektualitasnya juga karena kesederhanaan dan kejujurannya. Semua bentuk
empati dan simpatinya itulah yang membuat mereka menjadi jauh lebih paham
seperti apa rakyat yang dipimpinnya ketimbang mereka-mereka yang memilih gaya
borjuis saat menjadi elit politik.
Saat ini bangsa kita sedang membutuhkan
orang-orang yang memiliki “sense of empati” yang tinggi, yang memiliki kepekaan
empati. Empati itu tidak hanya dibutuhkan ketika bangsa kita sedang terpuruk
dengan berbagai bencana yang melanda. Sebagai contohnya, ketika bangsa kita
sedang tertimpa musibah tsunami aceh. Rakyat Indonesia berbondong-bondong
menyumbangkan apa yang dimiliki, baik sumbangan berbentuk materi, tenaga,
maupun dengan doa. Rakyat Indonesia saat itu memang tampak benar-benar bersatu,
bersatu ikut merasakan apa yang dirasakan oleh saudara-saudara di Aceh,
kehilangan sanak keluarga yang tercinta, kehilangan harta bernda, kehilangan
bagian-bagian tubuh, merasakan kehilangan hal-hal berharga yang dimiliki, dan
semua itu telah membuat kita bersatu.Begitupun juga dengan renteten bencana
alam lainnya.
Pertanyaannya
apakah kita harus ditegur dulu dengan musibah semacam itu disertai ribuaan
nyawa yang hilang terlebih dahulu untuk mengaktifkan sensor empati kita? Jika
kita ingin mengikuti jejak tokoh terdahulu yang menunjukka empatinya atas
penderitaan rakyat yang dipimpinnya, rasanya Indonesia akan segera bangkit dari
keterpurukan ini. Ya… keterpurukan yang bukan disebabkan oleh mati surinya
industri atau perekonomian. Tapi lebih kepada matinya hati karena enggan
berbagi dan merasakan pahit getirnya kehidupan saudaranya yang lain.
empati menjadi
suatu yang harus hidup dalam sanubari karena dengan berempati, menunjukkan
bahwa kita adalah manusia yang masih hidup, manusia yang berperasaan, dan
akhirnya menuntun kita menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama.
“Maut bukanlah
kehilangan terbesar dalam hidup Yang terbesar adalah apa yang mati dalam
sanubari sementara kita masih hidup” (Norman Cousins)
0 Response to "Empati"
Post a Comment
Terima kasih sudah membaca blog saya, silahkan tinggalkan komentar.